XtGem Forum catalog
Create a mobile site

NAMA : Aim pozziBle

BAGIAN l
TINJAUAN UMUM ILMU MA’ANIL HADITS

A. Hakikat Ilmu Ma’anil Hadits
Kajian tentang bagaimana memehami hadits sebenarnya sudah muncul sejak kehadiran Nabi Muhammad SAW, terutama sejak beliau diangkat sebagai Rasul, yang kemudian dijadikan panutan (uswah hasanah) oleh para sahabat. Dengan kemahiran bahasa Arab yang dimiliki olaeh para sahabat, mereka secara umum bisa langsung menangkap maksud dari sabda-sabda yang disampaikan oleh Nabi SAW. Dengan kata lain, dulu nyaris tidak ada problem dalam memahami hadits, sebab kalaupun muncul kesulitan memahami sabda Nabi (baca: Hadits) para sahabat bisa langsung melakukan konfirmasi dan menanyakan kepada Nabi SAW. Sebagai contoh adalah Hadits yang berbunyi:
“Nashr ibn Ali al-Jahdlami bercerita kepada kami, Al Haitsam ibn Rabi’ bercerita kepada kami, dari Qatadah dari Zararah ibn Awfa dari ibn ‘Abbas, dia berkata: seorang sahabat telah bertanya: wahai Rasulullah, amal apa yang paling dicintai oleh Allah SWT?. Beliau menjawab: al-hal wal murtahil. Orang itu bertanya lagi, apa itu al-hal wal murtahil? Beliau menjawab, yaitu orang yang membaca al-Qur’an dari awal sampai akhir dan setiap kali ia selesai membacanya, ia mengulanginya lagi. (H.R. Al- Tirmidzi)”.

Dalam hadits tersebut jelas bahwa sahabat itu tidak paham tentang makna al-hal wal murtahil, lalu Nabi memberikan jawaban langsung. Demikian halnya tentang pengertian al-muflis (orang yang bangkrut), sebagaimana yeng terlihat dalam hadis berikut ini:
“Qutabaih ibn Said dan Ali ibn Hujr bercerita kepada kami. Keduanya berkata, Ismail ibn Ja’far bercerita kepada kami dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. Berkata: apakah kalian tahu, siapakah orang yang bangkrut/ pailit? Mereka menjawab: orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak mempunyai dirham dan tidak punya harta benda. Nabi SAW, lalu berkata: sesungguhnya orang bangkrut (al-muflis) dari umatku adalah orang yang dihari kiamat membawa pahala shalat, puasa dan zakat, namun ia sungguh mencaci maki orang ini, menuduh berbuat zina terhadap orang ini, memakan harta orang ini, mengalirkan darah orang ini dan memukul orang ini. Maka pahala kebaikan orang tersebut diberikan kepada orang ini dan orang ini. Apabila pahala kebaikannya telah habis, sebelum ia diberi keputusan hukuman, diambillah dosa-dosa mereka yang pernah dizhalimi (di dunianya), lalu dilemparkan padanya, kemudian ia dilempar ke dalam neraka. (H.R. Muslim)”.

Dari riwaya di atas, jelas bahwa Nabi SAW. Secara aplikatif telah mengajarkan tentang ilmu ma’anil hadits kepada para sahabat, sebagai buktinya, pengertian bangkrut (muflis) versi sahabat dikoreksi oleh Nabi SAW. Bangkrut ternyata bukan dalam arti tidak punya dirham dan harta, melainkan bangkrut amal ibadahnya, sebab di dunia banyak berbuat zhalim kepada orang lain, yang menyebabkan pahalanya habis dan dicampakkan ke dalam neraka.

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Ma’anil Hadits
Di zaman Nabi SAW dan sahabat, maupun tabi’in belum ada istilah ilmu ma’anil hadits. Dalam berbagai literatur kitab Hadits, Syarah Hadits maupun Ulumul Hadits, tidak pernah disebutkan tentang istilah ilmu ma’anil hadits yang mengacu pada disiplin ilmu tersendiri. Istilah tersebut merupaklan istilah baru dalam studi hadits kontemporer. Namun demikian, sebenarnya ilmu ma’anil hadits telah diaplikasikan sejak zaman Nabi SAW., meski mungkin masih sangat sederhana. Sebab setiap kali Nabi SAW. Menyampaikan hadits, tentu para sahabat terlibat dalam proses pemahaman hadits tersebut. Apalagi Nabi menyampaikan hadits dengan bahasa Arab, sudah barang tentu para sahabat dengan cita rasa bahasa mereka, langsung dapat mengerti apa maksud dari hadits tersebut.
Jika mereka tidak mengetahui seperti disinggung di atas, merekapun bisa langsung bertanya kepada Nabi SAW. Ketika para sahabat tidak mengerti makna kata al-wahn, misalnya, Nabi SAW lalu menjawab, bahwa al- wahn adalah hubb al-dunya wa karahiyyat al-mawt, (terlalu cinta dunia dan takut mati), sebuah penyakit yang akan menimpa umat Muhammad di akhir zaman, yang menyebabkan mereka tidak berwibawa dihadapan umat lain.
Jauh sebelum munculnya kitab-kitab syarh hadits, para ulama bahkan telah meletakkan dasar-dasar ilmu ma’anil hadits, terutama ketika menjelaskan hadits-hadits yang secara matan memerlukan elaborasi khusus, yang kemudian lahirlah disiplin cabang ilmu hadits tersendiri, semisal ilmu gharibil hadits, yaitu ilmu tentang hadits-hadits yang matannya terasa asing dan sulit dipahami, terutama bagi generasi pasca sahabat, ketika islam mulai berkembang luas di dunia luar arab. Dengan demikian, menurut hemat penulis, ilmu gharibul hadits merupakan embrio awal dari ilmu ma’anil hadits.

C. Obyek Kajian Ilmu Ma’anil Hadits
Dalam perspektif filsafat ilmu, setiap disiplin ilmu harus memiliki obyek kajian yang jelas. Demikian pula ilmu ma’anil hadits sebagai salah satu cabang ilmu hadits, juga memiliki obyek kajian tersendiri, seperti halnya ilmu-ilmu yang lain. Sebab suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu, jika ia memiliki obyek kajian yang jelas dan landasan ontologis maupun epistimologis. Itulah sebabnya sebagian ahli membedakan antara istilah ilmu dengan pengetahuan. Pengetahuan itu belum tersistem, sedangkan ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang sistematis. Namun dalam istilah seghari-hari kita cenderung mencampuradukannya, bahkan lalu menyatukan dua istilah tersebut menjadi ilmu pengetahuan.

D. Arti Penting Ilmu Ma’anil Hadits
Ilmu ma’anil hadits sangat penting dealam konteks pengembangan studi hadits, antara lain:
1. Untuk memberikan prinsip-prinsip metodologi dalam memahami hadits.
2. Untuk mengembangkan pemahaman hadits secara kontekstual dan progresif.
3. Untuk melengkapi kajian ilmu hadits riwayah, sebab kajian hadits riwayah saja tidak cukup.
4. Sebagai kritik terhadap model pemahaman hadits yang terasa rigid dan kaku.

E. Pendukung Ilmu Ma’anil Hadits
Sebenarnya ilmu ma’anil hadits tidak dapat diaplikasikan secara mandiri, tanpa dukungan ilmu lain. Paradigma integrasi dan interkoneksi juga menjadi sangat penting dalam memahami hadits Nabi. Diantara pendukung ilmu ma’anil hadits yang sangat diperlukan adalah:
1. Ilmu Asbabul Wurud.
2. Ilmu Tawarikhul Mutun.
3. Ilmu al-Lughah.
4. Hermeuneutik (‘ilm Fahm).


BAGIAN ll
TEORI ASBABUL WURUD DALAM STUDI HADITS

A. Pengertian Asbabul Wurud
Secara etimologis Asbab al- Wurud merupakan susunan idhafah yang berasal dari gabungan kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”, yang berarti tali atau penghubung. Sedangkan “wurud” merupakan bentuk isim masdar yang mempunyai makna datang atau sampai kepada sesuatu. Dengan demikian asbab al-wurud, secara bahasa dapat diartikan sebagai tali atau penghubung sampainya sesuatu.
Istilah asbabul wurud tersebut dalam dis-kursus ilmu hadits, diartikan sebagai sebab-sebab yang melatarbelakangi munculnya suatu hadits.

B. Faktor-Faktor Nabi SAW. Bersabda
Selanjutnya berkaitan dengan asbabul wurud muncul pertanyaan, mengapa Nabi SAW. menyampaikan sabdanya atau melakukan sesuatu? Secara katagoris penulis membaginya kedalam empat faktor:
1. Al-bu’du al-mukhathibi.
2. Al-bu’du al-mukhathabi.
3. Al-bu’du al-zamani.
4. Al-bu’du al-makani.

C. Macam-Macam Asbabul Wurud
Menurut Imam al-Syuyuthi, asbabul wurud dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an
2. Sebab yang berupa hadits.
3. Sebab berkaitan dengan peristiwa yang dialami sahabat.

D. Cara Mengetahui Asbabul Wurud
Cara memahami asbabul wurud sebenarnya bisa melalui riwayat dan ijtihad. Jika dirinci maka paling tidak ada tiga cara untuk mengetahui asbabul wurud, yaitu:
1. Melalui riwayat teks hadits Nabi SAW.
2. Melalui aqwal al- shahabah (informasi sahabat).
3. Melalui ijtihad.

E. Urgensi Mengetahui Asbabul Wurud
Ini adalah bagian yang menjelaskan tinjauan aksiologis dimana asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat penting untuk memahami suatu hadits secara tepat.
Pemahaman hadits yang mengabaikan peranan asbabul wurud akan cenderung bersifat kaku, literalis, skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman. Paling tidak ada enam fungsi asbabul wurud, antara lain untuk:
1. Menentukan adanya takhshish hadits yang bersifat umum.
2. Membatasi pengertian hadits yang masih mutlak.
3. Men-tafshil (memerinci) hadits yang masih bersifat global.
4. Menjelaskan ‘illah (sebab-sebab) ditetapkannya seuatu hukum.
5. Menjelaskan maksud suatu hadits yang masih musykil (sulit dipahami dan ganjal).

F. Kitab-Kitab Tentang Asbabul Wurud
Adapun kitab-kitab yang banyak bicara mengenai asbabul wurud antara lain adalah:
1. Ashbab Wurud al-Hadits, karya Abu Hafsh al- Ukbari (w.339 H.).
2. Ashbab Wurud al-Hadits, karya Abu Hamid ‘abdl al-Jalil al-Jabari.
3. Ashbab Wurud al-Hadits atau yang disebut juga al-luma’ fi Ashbab Wurud al-Hadits, karya Jalaluddin ‘abdurrahman al-Syuyuthi. Yang sudah di tahqiq oleh Yahya Isma’il Ahmad.
4. Al-Bayan wa al-ta’rif, karya ibn hamzah al-husayni al-dimasyiqi (w.1110 H.).

BAGIAN III
MEMAHAMI HADITS NABI DENGAN PENDEKATAN HISTORIS, SOSIOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS

A. Pendekatan Historis
Pendekatan histories dalam hal ini adalah suatu upaya memahami hadits dengan cara mempertimbangkan kondisi histories-empiris pada saat hadits itu disampaikan Nabi SAW. Dengan kata lain, pendekatan histories adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide dengan gagasan yang terdapat dalam hadits dengan diterminasi-diterminasi social dan situasi historis kultiral yang mengitarinya.

B. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis hadits mempelajari bagaimana, dan mengapa, tingkah laku social yang berhubungan dengan ketentuan hadits sebagaimana kita lihat, dan sikap dasar sosiologis adalah kecurigaan.

C. Pendekatan Antropologis
Sedangkan pendekatan antropologi memerhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianutdalam kehiduapan masyarakat manusia. Kalau pendekatan histories, sosiologis dan antropologis secara sistetik hendak diterapkan dalam memahami hadits, maka ini sangat relevan, mengingat hadis juga merupakan fenomena keagamaan yang berakumulasi pada perilaku manusia sehingga dapat didekati dengan menggunakan tiga model pendekatan tersebut, sesuai konteks masing-masing.
BAGIAN IV
TEORI MEMAHAMI HADITS MUKHTALIF

A. Pengertian Mukhtalif
Kata mukhtalif merupakan bentuk isim fa’il (kata sifat). Secara bahasa hadits mukhtalif adalah hadits yang bertentangan satu sama lain. Parea ulama ahli hadits mendefinisikan bahwa hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang tampak saling bertentangan satu sama lain. Selain itu hadits mukhtalif termasuk hadits yang sulit dipahami karena ada kata-kata janggal atau sulit dipahami (musykil). Namun hadits-hadits tersebut sebenarnya boleh jadi tidak benar-benar kontradiktif (baca: ta’arudl haqiqi), sehingga masih bisa diselesaikan antara lain dengan metode al-jam’u wa al-taufiq (kompromi dan pemaduan).
Pertanyaan mendasar berkaitan dengan hadits mukhtalif adalah mengapa sebagian hadits Nabi itu tampak saling bertentangan? Hemat penulis paling tidak ada empat faktor, yaitu:
1. Faktor internal (al-‘amil al-dakhili).
2. Faktor eksternal (al-‘amil al-khariji).
3. Faktor metodologi (al-bu’du al-manhaji).
4. Faktor ideology (al-bu’du al-madzhabi).

B. Metode Menyelesaikan Hadits-Hadits Mukhtalif
Adanya kesan bahwa sebagian hadits-hadits Nabi SAW. Itu bertentangan satu dengan yang lain, mendorong para ulama untuk merumuskan teori bagaimana cara menyelesaikan problem tersebut, setelah penulis membaca berbagai kitab ulum hadits, baik klasik maupun kontemporer, maka paling tidak lima teori yang ditawarkan untuk menyelesaikan problem hadit-hadits mukhtalif, yaitu:
1. Metode al-jam’u wa al-taufiq
2. Metode tarjih.
3. Metode nasikh-mansukh.
4. Metode tawaqquf.
5. Metode ta’wil (baca: hermeuneutik).

BAGIAN V
METODE MEMAHAMI HADITS NABI DENGAN
PERSPEKTIF ANALISIS GENDER

A. Hadits Tentang ‘Aqiqah Dalam Perspektif Gender
Upaya memahami hadits yang terkesan ”misoginis” dengan perspektif analisis gender merupakan sebuah keniscayaan. Dalam studi hadits konyemporer, salah satu hadits yang dinilai “misoginis” adal;ah hadits-hadits ‘aqiqah, yang membedakan jumlah kambing ‘aqiqah bagi bayi laki-laki dan perempuan. Jika bayi laki-laki kambing yang disembelih dus ekor, sedangkan jika bayi perempuan cukup dengan satu ekor kambing. Hal ini didasarkan pada hadits yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad dan al- Tirmidzi: ‘an al-ghulam syatan mukafi’atan wa ‘an al-jariyah syah”.
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini metode kritik hadits baik secara eksternal (al-naqd al-khariji) maupun kritik internal (al-naqd al-dakhili), sedangkan yang hendak dipakai sebagai “pisau iris” analisisnya adalah menggunakan analisis gender. Analisis gender biasanya memusatkan perhatian pada ketidakadilan structural dan system yang disebabkan olah kontruksi gender. Adapun lingkup-lingkup yang menjelaskan mengenai ‘aqiqah dalam bias gender adalah sebagai berikut:
1. Konsep ‘aqiqah dalam fiqh klasik.
2. Variasi hadits-hadits ‘aqiqah.
3. Kritik sanad (al-naqd al khariji).
4. Kritik matan (al-naqd al-dakhili).
5. Pemahaman hadits ‘aqiqah.





DOWNLOADS DISINIBremIlmu Ma'anil Hadits
KEMBALI KE HALAMAN AWAL




Visit XtGem.com